Sunday, May 22, 2011

Pembagian Khiyar

KHIYAR
PEMBAHASAN

A.    Arti dan Jumlah Khiyar
Telah disinggung bahwa akad yang sempurna harus terhindar dari khiyar, yang memungkinkan aqid (orang yang akad) membatalkannya.
Pengertian khiyar menurut ulama Fiqh adalah:[1]
أَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَاقِدِ الْحَقُّ فِي اِمْضَاءِ الْعَقْدِ اَوْ فَسْخِهِ اِنْ كَانَ الْخِيَارُ خِيَارُ شَرْطٍ اَوْ رُؤْسَةٍ اَوْ عَيْبٍ اَوْ اَنْ يَخْتَارَ اَحَدُ الْبَيْعَيْنِ اِنْ كَانَ الْخِيَارُ خِيَارُ تَعْيِيْنٍ.
Artinya:
Suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib atau ru’yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyar ta’yin.”
      Jumlah khiyar sangat banyak dan di antara para ulama telah terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, jumlahnya ada 17.[2]
      Ulama Malikiyah[3] membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu khiyar at-taamul (melihat, meneliti), yakni khiyar secara mutlak dan khiyar naqish (kurang), yakni apabila terdapat kekurangan atau ‘aib pada barang yang dijual (Khiyar al-hukmy). Ulama Malikiyah berendapat bahwa khiyar majlis itu batal.
      Ulama Syafi’iyah[4] berpendapat bahwa khiyar terbagi dua, khiyar at-tasyahi adalah khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua adalah khiyar naqishah yang disebabkan adanya perbedaan dalam lafazh atau adanya kesalahan dalam perbuatan atau adanya penggantian. Adapun khiyar yang didasarkan pada syara’ menurut ulama Syafi’iyah ada 16 (enam belas) dan menurut ulama Hanabilah jumlah khiyar ada 8 (delapan) macam.[5]

B.     Pembahasan Khiyar Paling Masyhur
Dalam menetapkan pembahasan ini, hanya akan dibahas khiyar yang paling masyhur saja, di antaranya berikut ini.
1.      Khiyar Syarat
Pengertian khiyar syarat menurut ulama fiqh adalah:[6]
اَنْ يَكُوْنَ لِأَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ اَوْ لِكِيْلَهُمَا اَوْ لِغَيْرِهِمَا الْحَقُّ فِى فَسْخِ الْعَقْدِ اَوْ اِمْضَاءِهِ خِلَالَ مُدَّةٍ مَعْلُوْمَةٍ.
                        Artinya:
Suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad atau masing-masing yang akad atau selain kedua pihak yang        akad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.”
Misalnya, seorang pembeli berkata, “Saya beli dari kamu barang ini, dengan catatan saya ber-khiyar (pilih-pilih) selama sehari atau tiga hari.”
Khiyar disyariatkan antara lain untuk menghilangkan unsur kelalaian atau penipuan bagi pihak yang akad.

2.      Khiyar Majlis
Khiyar majlis menurut pengertian ulama fiqih adalah:
اَنْ يَكُوْنَ لِكُلٍّ مِنَ الْعَاقِدَيْنِ حَقٌّ فَسْخُ الْعَقْدِ مَادَامَ فِى مَجْلِسِ الْعَقْدِ لَمْ يَتَفَرَّقَا بِأَبْدَانِهَا يُخَيِّرُ اَحَدُهُمَا الْآخَرَ فَيُخْتَارُ لُزُوْمُ الْعَقْدِ.
Artinya:
Hak bagi senua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada di tempat akad dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehimgga muncul kelaziman dalam akad.”[7]
Dengan demikian, akad akan menjadi lazim, jika kedua pihak telah berpisah atau memilih. Hanya saja, khiyar majlis tidak dapat berada dalan setiap akad. Khiyar majlis hanya ada pada akad yang sifatnya pertukaran, seperti jual-beli, upah-mengupah dan lain-lain.
Khiyar majlis dikenal di kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Adapun pandangan para ulama tentang khiyar najlis terbagi atas dua bagian:
a.       Ulama Hanafiyah dan Malikiyah
Golongan ini berpendapat bahwa akad dapat menjadi lazim dengan adanya ijab dan qabul, serta tidak bisa dengan hanya dengan khiyar, sebab Allah SWT. menyuruh untuk menepati janji, sebagaimana firman-Nya: اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ  (kamu semua harus menepati janji), sedangkan khiyar menghilangkan keharusan tersebut.
Selain itu akad tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya keridhaan, sebagaimana firman-Nya:
اِلَّا اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ.
Artinya:
Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka” (Q. S. An-Nisa’ (4): 29)
Sedangkan keridhaan hanya dapat diketahui dengan ijab dan qabul. Dengan demikian, keberadaan akad tidak dapat digantungkan atas khiyar majlis.
Golongan ini tidak mengambil hadits-hadits yang berkenaan dengan keberadaan khiyar majlis sebab mereka tidak mengakuinya. Selain itu, adanya anggapan tentang keumuman ayat di atas. Bahkan ulama Hanafiyah menakwil hadits tentang khiyar majlis, yaitu:
اَلْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا اَوْيَقُوْلُ اَحَدُهُمَا لِلْآخَرِ : اِخْتَرْ. (رواه البخارى ومسلم)
Artinya:
Orang yang berjual-beli (penjual dan pembeli) berhak khiyar sebelum keduanya berpisah, atau salah satunya mengatakan kepada yang lain dengan berkata, pilihlah!” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud dua orang yang akad pada jual-beli (البيعان) adalah orang yang melakukan tawar-menawar sebelum akad, untuk berakad atau tidak. Adapun maksud dari berpisah (التفرق) adalah berpisah dari segi ucapan dan bukan badan. Dengan kata lain, bagi yang menyatakan ijab, ia boleh menarik ucapannya sebelum dijawab qabul, sedangkan bagi yang lainnya (penerima) boleh memilih apakah ia akan menerima di tempat tersebut atau menolaknya.
Menurut Wahbah al-Juhaili, takwil di atas tidak berfaedah sebab rang yang akad, bebas untuk memilih, menerima atau menolak. Dengan demikian, orang yang tidak menerima tidak dapat dikatakan berpisah (التفرق), Hadits tentang khiyar majlis pun tidak dapat dikatakan menyalahi keridhaan sebab khiyar majlis justru untuk memperkuat adanya keridhaan.[8]

b.      Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat adanya khiyar majlis.[9] Kedua golongan ini berpndapat bahwa jika pihak yang akad menyatakan ijab dan qabul, akad tersebut masih ternasuk akad yang boleh atau tidak lazim selagi keduanya masih berada di tempat atau berpisah badannya. Keduanya masih memiliki kesempatan untuk membatalkan, menjadikan atau saling berpikir. Adapun batasan dari kata berpisah diserahkan kepada adat atau kebiasaan manusia dalam bermuamalah, yakni dapat dengan berjalan,naik tangga, atau turun tangga dan lain-lain.
Mereka berpendapat khiyar majlis disyariatkan dalam islam, berdasarkan hadits shahih di atas.

3.      Khiyar ‘Aib (cacat)
Arti khiyar ‘aib (cacat) menurut ulama fiqh adalah:[10]
اَنْ يَكُوْنَ لِأَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ الْحَقُّ فِى فَسْخِ الْعَقْدِ اَوْ اِمْضَاءِهِ اِذَا وُجِدَ عَيْبٌ فِى اَحَدِ الْبَدْلَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ صَا حِبُهُ عَالِمًا بِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ.
Artinya:
Keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memiliki hak untuk membatalkan atau menjadikannya ketika ditemukannya aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar  yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad.”
Dengan demikian, penyebab adanya khiyar aib adalah adanya cacat dan barang yang dijual-belikan (ma’qud alaih) atau harga (tsaman), karena kurang nilainya atau tidak sesuai dengan maksud, atau orang dan yang akad tidak meneliti kecacatannya ketika akad.
Ketetapan adanya khiyar mensyaratkan adanya barang pengganti, baik diucapkan secara jelas ataupun tidak, kecuali jika ada keridhaan dari yang akad. Sebaliknya, jika tidak tampak adanya kecacatan, barang pengganti tidak diperlukan lagi.
Khiyar ‘aib disyariatkan dalam islam, yang didasarkan pada hadits-hadits yang cukup banyak, diantaranya:
الْمُسْلِمُ اَخُوا الْمُسْلِمِ لَايَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ اَخِيْهِ بَيْعًا وَفِيْهِ عَيْبٌ اِلَّا بَيِّنَةٌ لَهُ. (رواه ابن ماجه عن عقبة بن عامر)
Artinya:
Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Tidaklah halal bagi seorang muslim untuk menjual barang bagi saudaranya yang mengandung kecacatan, kecuali jika menjelaskannya terlebih dahulu.” (H. R. Ibn Majah dari Uqbah ibn Amir)
مَرَّ النَّبِيُّ ص. م. بِرَجُلٍ يَبِيْعُ طَعَامًا فَأدْخَلَ يَدَهُ فِيْهِ فَاِذَا هُوَ مَبْلُوْلٌ فَقَالَ: مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا.
Artinya:
Suatu hari Rasulullah SAW. melewati seorang pedagang makanan, kemudian beliau mencelupkan tangannya ke atas nakanan tersebut dan mengetahui makanan itu basah (basi). Rasul bersabda: “Barang siapa yang menipu kita, ia bukan dari golongan kita.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah[11] berpendapat bahwa ‘aib pada khiyar adalah segala sesuatu yang menunjukkan adanya kekurangan dari aslinya, misalnya berkurang nilainya menurut adat, baik berkurang sedikit atau banyak.
Menurut Ulama Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang dapat dipandang berkurang nilainya dari barang yang dimaksud, seperti sempitnya sepatu, potongnya tanduk binatang yang akan dijadikan kurban.


[1] Wahbah Al-Juhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz IV, hlm 250
[2] Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar, juz IV, hlm. 47
[3] Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Al-Mustashid, juz II, hlm.
[4] Hasyiyah liAsy-Syarqawi, juz II, hlm. 40-50
[5] Kasyf Al-Qana, juz III, hlm. 166-224
[6] Wahbah Al-Juhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz IV, hlm 254
[7] Ibid,. 250
[8] Ibid., 251
[9] Muhammad asy-Syarbini, juz II, hlm. 43, 45
[10]  Wahbah Al-Juhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz IV, hlm 251
[11] Alauddin al-Kasani, Bada’i ash-Shana’i fi Tartib Syara’, Juz V hlm 274

Monday, May 9, 2011

Makalah Makkiyah dan Madaniyah


BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Semua bangsa berusaha keras untuk melestarikan warisan pemikiran dan sendi-sendi kebudayaanya. Demikian juga umat islam amat memperhatikan keleestarian risalah Muhammad bukan sekedar risalah ilmu dan pembeharuaan yang hanya diperhatikan sepanjang diterima akal dan mendapat respon manusia. Tetapi, diatas itu semua ia agama yang melekat pada akal dan terpateri dalam hati. Oleh sebab itu kita dapati para pengemban petunjuk yang terdiri atas para sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya meneliti dengan cermat tempat turunya Qur’an ayat demi ayat, baik dalam hal waktu ataupun tempatnya.
Penelitian ini merupakan pilar kuat dalam sejarah perundang-undangan yang menjadi landasan bagi para peneliti untuk mengetahui metode dakwah, macam-macam seruan, dan pentahapan dalam penetapan hukum dan perintah.
Orang yang membaca al-Qur’anul karim akn melihat bahwa ayat-ayat makkiyah mengandung karakteristik yang tidak ada dalam ayat-ayat madaniah, baik dalam irama maupun maknanya.
   
2.      Rumusan masalah
a.       Apa pengertian makkiyah dan madaniah?
b.      Apa teori klasifikasi makkiyah dan madaniah?
c.       bagaimana dasar penetapan makkiyah dan madaniah dalam al Qur’an?
d.      Apa ciri khas ayat-ayat makkiyah dan madaniah?
e.       bagimana urgensi ilmu makkiyah dan madaniah bagi penggalian hukum islam?

3.      Tujuan masalah
a.       Untuk mengetahui pengertian makkiyah dan madaniah
b.      Untuk mengetahui teori klasifikasi makkiyah dan madaniah
c.       Untuk mengetahui penetapan makkiyah dan madaniah dalam al-qur’an
d.      Untuk mengetahui ciri khas ayat-ayat makkiyah dan madaniah
e.   Untuk mengetahui urgensi ilmu makkiyah dan madaniah bagi penggalian hukum Islam




BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Makkiyah dan Madaniyyah
Yang dimaksud dengan ilmu makki dan madani ialah ilmu yang membahas ihwal bagian al qur’an yang makki dan yang madani baik dari segi arti dan maknanya, cara-cara mengetahuinya, atau tanda masing-masingnya, maupun macam-macamnya. Sedangkan yang dimaksud dengan makki dan madani ialah bagian-bagian kitab suci al-qur’an, dimana ada sebagaiannya termasuk makki dan ada yang termasuk madani. Tetapi dalam memberikan kriteria bagian mana yang termasuk makki dan madani dan mana yang termasuk madani itu, atau di dalam mendefinisikan masing-masingnya.
Para ulama sepakat mengenai penggunaan istilah Makiyyah untuk satu bagian Al-Quran dan Madamiyah untuk bagian yang lainnya.Al-Ya’qubi mengatakan,”Menurut riwayat Muhammad bin Hafsh bin Asad Al-Kufiy, dari Muhammad bin Katsir dan Muhammad ibn AL-Sa’ib Al-Kalby, dari abu Shalih, dari ibn Abbas, Bahwa Delapan puluh dua surah Al-Quran diturunkan di Makkah dan Tiga puluh dua surah diturunkan di madinah.[1]

2.      Teori Klasifikasi Makkiyah dan Madaniah
Ada empat teori dalam menentukan kriteria untuk memisahkan nama bagian Alqur’an yang makki atau surah atau ayat yang makkiyah, dan mana bagian yang madani atau surah atau ayat yang madaniyah.
Teori-teori itu ialah sebagai berikut :
a.       Teori Mulaahazhatun Makaanin Nuzuli (teori geografis), yaitu teori yang berorientasi pad tempat turun alqur’an atau tempat turun ayat.
Teori ini mendifinisikan Makki dan Madani, sebagai berikut:
Alqur’an  ayat makkiyah ialah yang turun di mekkah dan sekitarnya, baik waktu turunya itu Nabi Muhammad SAW belum hijrah ke Madinah ataupun sesudah hijrah. Termasuk kategori Makki/Madaniyah menurut teori in ialah ayat-ayat yang turun kepeda Nabi Muhammad SAW ketika beliau berada di Mina, Arafah, Hudaibiyah, dan sebagainya.
Alqur’an Madani/surah atau ayat Madaniyah ialah yang turun di madinah dan sekitarnya. Termasuk madani atau madiniyah menurut teori geografis ini ialah ayat-ayat/ surah yang turun pada Nabi Muhammad SAW sewaktu beliau di badar, Qubq, Madinah, Uhud, dan lain-lain.
Kelebihan dari teori geografis ini ialah hasil rumusan pengertian Makki dan Madani ini jelas dan tegas. Jelas, bahwa yang dinamakan Makki adalah ayat/surah yang turun di Mekkah. Tetap dinamakan Makki, meski ayat/surah turun di Mekkah itu sesudah Nabi Hijrah ke madinah, Hal ini berbeda dengan rumusan teori lain, yaitu teori historis, bahwa ayat/ surah yang turun sesudah Nabi hijrah itu dimasukkan kategori Madani, meski turunya di Mekkah atau sekitarnya.
Kelemahan dari teori geografis ini ialah rumusannya tidak bisa dijadikan patokan, batasan atau definisi. Sebab, rumusannya itu belum bisa mencakup seluruh ayat alqur’an, karena tidak seluruh ayat alqur’an itu hanya turun di mekkah dan sekitarnya atu dimadinah dan sekitarnya.kenyataannya, ada beberapa ayat yang turun di luar kedua daerah tersebut. Misalnya, seperti ayat sebagi berikut yang artinya:
Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu Keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikuti kamu. (Q.S. At-Taubah:42)
b.      Teori Mulaahazhatul Mukhaathabiina Fin Nuzuuli (teori subjektif), yaitu teori yang berorientasi pada subjek siapa yang dikhithbah / dipanggil dalam ayat. Jika subjeknya orang-orang mekkah maka ayatnya dinamakan makiyah.dan jika subjeknya orang-orang Madinah maka ayatnya disebut Madaniyah.
Menurut teori subyektif ini,yang dinamakan Quran Makki/surah / ayat Makiyah ialah yang berisi khitab/panggilan kepada penduduk Mekkah dengan memakai kata-kata:”Ya Ayyun Naasuha “ (wahai manusia) atau “Yaa Ayyuhal Kafiruuna” (wahai orang-orang kafir) atau “Yaa Banii Aadama” (hai anak cucu Nabi  Adam ),dan sebagainya.Sebab,kebanyakan penduduk Mekkah adalah orang-orang kafir,maka di panggil dengan wahai orang-orang kafir atau wahai manusia,meski orang-orang kafir dari lain-lain daerah ikut dipanggil juga.
Sedangkan yang dimaksud dengan Quran Madani/surah dan ayat Madaniyah ialah yang berisi panggilan kepada penduduk Madinah.Semua ayat yang dimulai dengan nida’(panggilan);”Yaa Ayyuhal Ladzina Aaamanuu”(wahai orang-orang yang beriman) adalah termasuk ayat/surah Madaniyah.Sebab,mayoritaas penduduk Madinah adalah mukminin,sehingga dipanggil dengan wahai orang-orang yang beriman,meski sebenarnya kaum mukminin dari daerah-daerah lain juga ikut terpanggil pula.
c.       Teori Mulahazhatu Zamaanin Nuzuuli (teori historis),yaitu teosri yang berorientasi pada sejarah waktu turunnya Alqur’an. Yang dijadikan tonggak sejarah oleh teori ini ialah hijrah Nabi Muhammad SAW dari mekkah ke Madinah.
Menurut teori ini, ialah ayat-ayat Alquran yang diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah,meski turunnya ayat itu di luar kota Mekkah,seperti ayat-ayat yang turun di mina,Arafah,Hudaibiyah,ialah ayat-ayat yang turun setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah,meski turunnya di Mekkah atau sekitarnya,seperti ayat-ayat yang diturunkan di Badar,Uhud,Arafah,dan Mekkah.
d.      Teori Mulahazhatu  Ma Tadhammanat As-Suuratu (teori content analysis), yaitu suatu teori yang mendasarkan kriteriannya dalam membedakan makkiyah dan madaniyyah kepada isi daripada ayat/surah yang bersangkutan. yang dinamakan Makiyah menurut teori content analysis ini ialah surah/ayat yang berisi cerita-cerita umat dan para Nabi/Rasul dahulu.Sedang yang disebut Madaniyah adalah surah/ayat yang berisi hukum hudud,faraid,dan sebagainya.
Kelebihan dari teori content analysis ini adalah,bahwa kriteriannya jelas,sehingga mudah difahami,sebab gampang dilihat.Orang tinggal melihat saja tanda-tanda tertentu itu,nampak atau tidak dalam sesuatu surah/ayat,sehingga dengan demikian dia mudah menentukannya.
Kelemahannya,pelaksanaan pembedaan Makiyah dan Madaniyah menurut teori ini tidak praktis.Sebab,orang harus mempalajari isi kandungan masing-masing ayat dahulu,baru saja mengetahui kriterianya/kategorinya.[2]

3.      Dasar penetapan makkiyah dan madaniah dalam al-Qur’an
Adapun dasar yang dapat menentukan sesuatu surah itu makkiyah atau madaniyyah, seperti diatas itu ada dua hal,yaitu:
a.       Dasar Aghlabiyah (mayoritas), yakni kalau sesuatu surah itu mayoritas atau kebanyakan ayat-ayatnya adalah sebaliknya, jika yang terbanyak ayat-ayat-ayat dalam sesuatu surah itu adalah Madaniyyah, atau diturunkan setelah Nabi hijrah ke madinah, maka surah tersebut disebut sebagai surah madaniyah.
b.      Dasar Taba’iyah (kontinuitas), yakni kalau permulaan sesuatu surah itu didahului dengan ayat-ayat yag turun di mekkah/turun sebelum hijrah, maka surah tersebutdisebut atau berstatus sebagai surah-surah makiyah. Begitu pula sebaliknya jika ayat-ayat pertama dari suatu surah itu diturunkan di madinah atau yang berisi hukum-hukum syariat, maka surah tersebut dinamakan sebagai surah madaniyah.[3]



4.      Ciri khas ayat-ayat makkiyah dan madanyah
a.      Makkiyyah
1)      Di dalamnya terdapat ayat sajdah.Tetapi versi lain menyebutkan bahwa ada perkecualian, yakni untuk surat maryam ayat 98, ar-ra’d:15, dan al-hajj ayat 18 dan 77.
2)      Ayat-ayatnya dimulai dengan kata kalla
3)      Dimulai dengan ungkapan yaa ayyuhan an-naas dan tidak ada    ayat yang dimulai dengan ungkapan yaa ayyuhan al-ladziina, kecuali dalam surat Al-Hajj (22), karena di penghujung surat itu terdapat sebuah ayat yang dimulai dengan ungkapan yaa ayyuha al-ladziina
4)      Ayat-ayatnya mengandung tema kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu.kecuali Al-Baqarah.
5)      Mayoritas mengandung seruan tauhid, pokok-pokok keimanan kepada Allah Swt. HAri kiamat, penggambaran keadaan surga dan neraka, soal-soal azab,pahala dan nikmat, kebaikan dan kejahatan.
6)      Kebanyakan Menyeru kepada manusia untuk berperangai mulia dan berjalan diatas rel kebenaran, serta urusan-urusan kebajikan dan keluhuran lainnya.
7)      Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf-huruf terpotong-potong (huruf at-tahajji) seperti alif lam mim dan sebagainya, kecuali surat Al-Baqarah (2) dan Ali ‘imran (3).
b.      Madaniyyah
1)      Mengandung ketentuan-ketentuan farai’dh dan hadd
2)      Mengandung sindiran-sindiran terhadapa kaum munafik kecuali surat Al-Ankabut
3)      Mengandung uraian tentang perdebatan dengan ahli    kitab

Sedangkan berdasarkan titik tekan tematis, para ulama merumuskan ciri-ciri spesifik Makkiyah dan Madaniyyah sebagai berikut


1.      Makkiyah
a.       Menjelaskan ajakan monotheisme, ibadah kepada Allah semata, penetapan risalah kenabiaan, penetapan hari kebangkitan dan pembalasan, uraian tentang kiamat dan perihalnya, neraka dan siksanya, surga dan kenikmatannya, dan mendebat kelompok musyrikin dengan argumentasi-argumentasirasional dan naqli.
b.      Menetapkan fondasi-fondasi umum bagi pembentukan hukum syara’ dan keutamaan akhlak yang harus dimiliki anggota masyarakat. Juga berisikan celaan-celaan terhadap kriminalitas yang dilakukan kelompok musyrikin, misalnya mengambil harta anak yatim secara zalim serta uraian tentang hak-hak.
c.       Menuturkan kisah para Nabi umat-umat terdahulu serta perjuangan Muhammad dalam menghadapi tantangan-tantangan kelompok musyrikin.
d.      Ayat dan suratnya pendek-pendek dan nada serta perkataannya agak keras.
e.       Banyak mengandung kata-kata sumpah.
2.      Madaniyyah
a.       Menjelaskan permasalahan ibadah, muamalah, hudud, bangunan rumah tangga, warisan, keutramaan jihad, kehidupan sosial, aturan-aturan pemerintahan menangani perdamaian dan peperangan, serta persoalan-persoalan pembentukan hukum syara’
b.      Mengkhitabi Ahli Kitab Yahudi dan Nasrani dan mengajaknya masuk islam, menguraikan perbuatanmereka yang telah menyimpangkan Kitab Allah dan menjauhi kebenaran serta perselisihannya setelah datang kebenaran.
c.       Mengungkap langkah-langkah orang-orang      munafik.
d.      Surat dan sebagain ayatnya panjang serta menjelaskan hukum secara jelas dan menggunakan ushlub yang jelas pula.
Ciri-ciri spesifik yang dimiliki Madaniyyah, baik dilihat dari perspektif analogi ataupun tematis, memperlihatkan langkah-langkah yang ditempuh islam dalam mensyariatkan peraturan-peraturannya, yaitu dengan cara periodik hirarkis (tadarruj).
Laporan-laporan sejarah telah membuktikan adanya sistem sosiokultural yang berbeda antara Mekkah dan Madinah. Mekkah dihuni komunitas ateis yang keras kepala dengan aksinyayang selalu menghalangi dakwah Nabi dan para sahabatnya, sedangkan di Madinah setelah Nabi hijrah ke sana, terdapat tiga komunitas : komunitas muslim yang terdiri atas kelompok Muhajirin dan Anshar, komunitas munafik, dan komunitas Yahudi. Al-Qur’an menyadari perbedaan sosiokultural antara keduatempat itu. Oleh karena itu, alur pembicaraan ayat yang diturunkan bagi penghuni Mekkah sangat berbeda dengan alur yang diturunkan bagi penduduk Madinah.[4]

5.      Urgensi Ilmu Makkiyah Dan Madaniah Bagi Penggalian Hukum Islam
An-Naisaburi dalam kitabnya At-Tanbih ‘Ala Fadhl ‘Ulum Al-Quran, mengandung subjek Makkiyah dan Madaniyyah sebagai ilmu Al-Quran yang paling utama. Sementara itu, Manna’ Al-Qaththan mencoba lebih jauh lagi dalam mendeskripsikan urgensi mengetahui Makkiyyah dan Madaniyyah sebagai berikut:
a.       Membantu dalam menafsirkan Al-Quran
Pengetahuan tentang para mufasir dalam peristiwa di seputar turunya Al-Quran tentu sangat membantu memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, kendati pun ada teori yang mengatakan bahwa keumuman redaksi Ayat yang harus menjadi patokan dan bukan kekhususan sebab. Dengan mengetahui kronologis Al-Quran pula, seorang musafir dapat memecahkan makna kontraduktif dalam dua ayat yang berbeda, yaitu dengan pemecahan konsep Nasikh-Mansukh yang hanya dapat diketahui melalui kronologi Al-Quran,
b.      Pedoman bagi langkah-langkah dakwah
Setiap kondisi tentu saja memerlukan ungkapan yang relevan. Ungkapan dan intonasi berbeda yang digunakan ayat-ayat Makkiyah dana ayat-ayat Madaniyyah memberikan informasi metodologi bagi cara-cara menyampaikan dakwah agar relevan  dengan orang yang diserunya. Karena itu, dakwah islam berhasil mengetuk hati dan menyembuhkan setiap langkah dakwah memiliki objek kajian dan metode tertentu, seiring dengan perbedaan kondisi sosio-kultural manusia.periodisasi Makkiyyah dan Madaniyyah telah memebrikan contoh untuk itu.
c.       Memberi informasi tentang sirah kenabian
Penahapan turunya wahyu adalah seiring dengan perjalanan dakwah Nabi, baik di mekkah atau madinah, mulai diturunkannya wahyu pertama sampai diturunkannya wahyu terakhir. Al-Qur’an adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah Nabi itu. Informasinya sudah tidak dapat diragukan lagi.[5]






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ilmu makki dan madani ialah ilmu yang membahas ihwal bagian al qur’an yang makki dan yang madani, baik dari segi arti dan maknanya, cara-cara mengetahuinya, atau tanda masing-masingnya, maupun macam-macamnya. Sedangkan yang dimaksud dengan makki dan madani ialah bagian-bagian kitab suci alqur’an, dimana ada sebagaiannya termasuk makki dan ada yang termasuk madani.
Ciri-ciri spesifik yang dimiliki Madaniyyah, baik dilihat dari perspektif analogi ataupun tematis, memperlihatkan langkah-langkah yang ditempuh islam dalam mensyariatkan peraturan-peraturannya, yaitu dengan cara periodik hirarkis (tadarruj).

B.     Kritik dan Saran
Kami harapkan dari kelompok kami kritik dan saran demi kemajuan di masa yang akan datang.

           


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Djalal, Ulumul Al Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya, 2008.
Arsyad Natsir, Seputar Al-Quran , Hadist dan Ilmu, Penerbit Al-Bayan, Bandung, 1996
Manna KhalilAl-Qattan, Study Ilmu-Ilmu Qur’an, Pustaka Lintera Antar Nusa, Bogor, 2010.
Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2004.
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur’an, PT. Pustaka Rizki Putra, semarang, 2002.


MAKKIYYAH DAN MADANIYYAH

Makalah ini diajukan untuk Memenuhi Tugas Matakuliah:
“STUDI AL-QUR’AN”

Oleh:
                                    M. Dyan Firmansyah            C02210043
M Kanzul Fikri A.                 C02210044
                                    Novi Nur Hidayati                 C02210055

Dosen Pembimbing:
Dra. Hj. Suqiyah Musyafaah, M.Ag.



FAKULTAS syariah
jurusan muamalah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011




 

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.......................................................................................      ii
DAFTAR ISI......................................................................................................     iii
BAB I             :  PENDAHULUAN..................................................................      1
1.        Latar Belakang...................................................................      1
2.        Rumusan Masalah..............................................................      1
3.        Tujuan Masalah..................................................................      1
BAB II           :  PEMBAHASAN.....................................................................      2
1.      Pengertian Makkiyah Dan Madaniyah...............................      2
2.      Teori Klasifikasi Makkiyah Dan Madaniyah.....................      2
3.      Dasar Penetapan Makkiyah Dan Madaniyah Dalam Al-Qur’an                        6
4.      Ciri Khas Ayat-Ayat Makkiyah Dan Madaniyah..............      7
5.      Urgensi Ilmu Makkiyah Dan Madaniyah Bagi Penggalian Hukum Islam                     9
BAB III          :  PENUTUP...............................................................................    11
1.      Kesimpulan........................................................................    11
2.      Kritik dan Saran.................................................................    11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................    12






ii
 

KATA PENGANTAR


Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah akhirnya penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ”Makkiyyah dan Madaniyyah” ini guna memenui tugas mata kuliah studi al-Qur’an.
Pemakalahpun tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu pemakalah mengucapkan terimah kasih kepada Dra. Hj. Suqiyah Musyafaah, M.Ag. selaku dosen yang telah membimbing untuk menyelesaikan tugas ini.
Makalah ini sangatlah jauh dari sempurna,masih banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat didalamnya,maka pemakalah berharap agar pembaca dapat memberikan saran dan kritikan yang bersifat membangun agar lebih terciptanya kesempurnaan pada penulis tugas berikutnya.
Semoga tugas ini dapat bermanfaat khususnya bagi pemakalah dan pembaca pada umumnya, Amiiin…





i
 



[1] Tarikh Al-Ya’qubiy, juz II, hlm. 26 dan 35.
[2] [2] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, 2008, Dunia ilmu, surabaya, Hal 78

[3] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, 2008, Dunia ilmu, surabaya, Hal 100
[4] Rosihon Anwar,Ulumul Qur’an, 2004, CV Pustaka Setia, Hal 110
[5] Rosihon Anwar,Ulumul Qur’an, 2004, CV Pustaka Setia, Hal 121