BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Adanya
pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, para pelaku ekonomi baik pemerintah
maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum memerlukan dana yang
besar. Seiring dengan kegiatan ekonomi tersebut, kebutuhan akan pendanaan pun
akan semakin meningkat. Kebutuhan pendanaan tersebut sebagian besar dapat
dipenuhi melalui kegiatan pinjam meminjam.
Kegiatan
pinjam meminjam ini dilakukan oleh perseorangan atau badan hukum dengan suatu
lembaga, baik lembaga formal maupun informal. Indonesia
yang sebagian masyarakatnya masih berada di garis kemiskinan cenderung memilih
melakukan kegiatan pinjam meminjam kepada lembaga informal seperti misalnya
rentenir. Kecenderungan ini dilakukan karena mudahnya persyaratan yang harus
dipenuhi, mudah diakses dan dapat dilakukan dengan waktu yang relatif singkat.
Namun di balik kemudahan tersebut, rentenir atau sejenisnya menekan masyarakat
dengan tingginya bunga.
Jika
masyarakat mau melihat keadaan lembaga formal yang dapat dipergunakan untuk
melakukan pinjam meminjam, mungkin masyarakat akan cenderung memilih lembaga
formal tersebut untuk memenuhi kebutuhan dananya. Lembaga formal tersebut
dibagi menjadi dua yaitu lembaga bank dan lembaga nonbank. Saat ini, masih
terdapat kesan pada masyarakat bahwa meminjam ke bank adalah suatu hal yang
lebih membanggakan dibandingkan dengan lembaga formal lain, padahal dalam
prosesnya memerlukan waktu yang relatif lama dengan persyaratan yang cukup
rumit. Padahal, pemerintah telah memfasilitasi masyarakat dengan suatu
perusahaan umum (perum) yang melakukan kegiatan pegadaian yaitu Perum Pegadaian
yang menawarkan akses yang lebih mudah, proses yang jauh lebih singkat dan
persyaratan yang relatif sederhana dan mempermudah masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan dana.
Namun ternyata tidak hanya sampai di situ
fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia
adalah penganut agama Islam, maka Perum Pegadaian meluncurkan sebuah produk
gadai yang berbasiskan prinsip-prinsip syariah, sehingga masyarakat mendapat
beberapa keuntungan, yaitu Cepat, Praktis, dan Menentramkan. Cepat, karena
hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk prosesnya, praktis, karena
persyaratannya mudah, jangka waktu fleksibel dan terdapat kemudahan lain, serta
menentramkan karena sumber dana berasal dari sumber yang sesuai dengan prinsip
syariah, begitu pun dengan proses gadai yang diberlakukan. Produk yang dimaksud
adalah produk Gadai Syariah.
(www.scribd.com / doc / 25043098 / pegadaian syariah)
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pegadaian
dalam kajian Islam?
2. Bagaimana sejarah
perkembangan pegadaian di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Dasar
Hukum Pegadaian
Menurut bahasa, gadai (al-Rahn) berarti al-Tsubut dan
al-Habs, yaitu penetapan dan penahanan. Di dalam kitab Kifayah al-Akhyar (261),
telah dijelaskan bahwa rahn adalah terkurang atau terjerat. (Hendi, 2005:105)
Sedangkan menurut istilah syara’, menurut Hasbi
Ash-Shiddiqy (1984, 86-87), rahn ialah akad yang objeknya menahan harga
terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran sempurna darinya. Jadi,
rahn dapat diartikan meminjam uang dengan syarat memberikan jaminan terhadap
orang yang meminjami.
Menurut UU Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak
yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berhutang atau oleh seorang lain
atas dirinya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu
untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada
orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya yang telah
dikeluarkan, untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, dan biaya-biaya
yang mana harus didahulukan. (www.scribd.com / doc / 25043098 / pegadaian
syariah)
Sebagai pedoman dasar hukum gadai adalah firman Allah
SWT dalam surat
al-Baqarah 283:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ
وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ
Artinya: “Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.
Dan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Bukhari, Nasai dan Ibn Majjah dari Anas r.a. ia berkata: “Rasulullah SAW merungguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah
ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”.
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa agama Islam
tidak membeda-bedakan antara orang muslim dan bukan muslim dalam bidang
Muamalah. Maka, seorang muslim wajib membayar hutangnya sekalipun kepada orang yang
bukan muslim.
B. Ringkasan Sejarah
Perkembangan Pegadaian di Indonesia
Lembaga gadai pertama kali didirikan di Sukabumi, Jawa
Barat, 1 April 1901. Nama perusahaannya adalah Pegadaian, dengan Wolf von
Weterode sebagai kepala Pegadaian Negeri pertama. (Hermawan, 2008:204) Pada
masa itu, Pegadaian didirikan untuk membantu masyarakat dari jeratan para
lintah darat melalui pemberian uang pinjaman dengan hukum gadai. Nama Pegadaian
ini, kemudian dijadikan sebagai nama dari lembaga keuangan ini.
Pada tahun 1901, Pegadaian diubah status menjadi
Perusahaan Jawatan (Perjan). Kemudian, pada tahun 1928 diubah menjadi
Perusahaan Negara dan pada tahun 1969 diubah kembali menjadi Perusahaan Jawatan
(Perjan). Dan pada tahun 1990 statusnya menjadi Perusahaan Umum (Perum),
ditandai dengan lahirnya PP 10/1990 pada tanggal 10 April 1990 dan PP 103 tahun
2000. Pada waktu itu Perum Pegadaian merupakan salah satu Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dalam lingkungan Departemen Keuangan Republik Indonesia. (Ary Agung)
Pada tahun 2003 didirikan lembaga keuangan yang
menurut konsep Islam, yakni Pegadaian Syari’ah dengan nama Unit Layanan Gadai
Syari’ah. Pegadaian Syari’ah ini sebenarnya lahir berawal dari hadirnya fatwa
MUI tanggal 16 Desember 2003 mengenai bunga Bank bahwa, ”Untuk wilayah yang
sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan mudah di jangkau, tidak
dibolehkan melakukan transaksi yang di dasarkan kepada perhitungan bunga. Fatwa
ini memperkuat terbitnya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1990 yang
menerangkan bahwa misi yang diemban oleh Pegadaian adalah untuk mencegah
praktik riba, dan misi itu tidak berubah hingga diterbitkannya Peraturan
Pemerintah No. 103 tahun 2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha
Perum Pegadaian hingga sekarang.
Secara Operasional, konsep Pegadaian Syari’ah mengacu
pada penggunaan cara-cara baru, yaitu rasionalitas, efisiensi dan efektivitas
yakni menurut pemikiran dan pertimbangan yang logis, mampu menjalankan tugasnya
dengan tepat dan membawakan hasil yang diselaraskan dengan nilai-nilai Islam
dan berada dalam binaan Divisi Usaha lain Perum Pegadaian.
Sampai saat ini, pada tahun 2010, Pegadaian Syari’ah
melakukan perluasan sehingga mempunyai 120 cabang yang tersebar di seluruh
Indonesia, yaitu di Medan, Padang, Jakarta, bandung, Semarang, Yogaykarta,
Surakarta, Surabaya, Manado dan Balikpapan.
Selain Pegadaian Syari’ah, pemain dalam usaha ini
adalah Perbankan Syari’ah yang memberikan gadai syari’ah, atau yang disebut rahn
sebagai alternatif layanan mereka. Sampai saat ini, beberapa pemain Perbankan
Syari’ah yang menawarkan Gadai Syari’ah adalah Bank Syari’ah Mandiri, Bank
Muamalat Indonesia,
Bank Danamon, dan lain-lain.
C. Rukun dan Syarat Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan memiliki beberapa
rukun, antara lain:
1.
Akad ijab dan Kabul, seperti seseorang berkata,
“aku gadaikan motorku ini dengan harga dua juta” dan yang satu lagi menjawab,
“aku terima gadai motormu seharga dua juta” atau bias pula dilakukan selain
dengan kata-kata, seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya.
2.
Aqid, yaitu yang menggadaikan
(rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat bagi yang berakad
adalah ahli tasharuf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini
memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
3.
Barang yang dijadikan jaminan
(borg). Adapun syarat bagi benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang
itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Di dalam kitab Kifayah
al-Akhyar (263) juga diterangkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “setiap
barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan gadai (borg).
Sedangkan menurut Ahmad ibn Hijazi, bahwa yang dapat
dijadikan jaminan dalam masalah gadai itu ada tiga macam, yaitu:
a.
Kesaksian
b.
Barang gadai
c.
Barang tanggungan
4.
Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah
tetap.
D. Pengambilan Manfaat
Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang
digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantaranya Jumhur Fuqaha’ dan Ahmad.
Jumhur Fuqaha’ berpendapat bahwa murtahin tidak boleh
mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin
mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik
manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba’. Rasulullah SAW dalam
sabdanya: “Setiap utang yang menarik
manfaat adalah termasuk riba’”.
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits dan al-Hasan, jika
barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak
yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari benda
gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama
kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Rasullullah SAW bersabda: “Binatang tunggangan boleh ditunggangi
karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk
diminum karena pembiayaannya bila digadaikan. Bagi orang yang memegang dan
meminum susunya wajib memberikan biaya”. (al-Kahlani, 51)
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas
ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan, sehingga bagi yang
memegang barang-barang gadai seperti di atas mempunyai kewajiban tambahan.
Yakni, pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadai
itu adalah hewan dan harus merawat bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan.
Jadi, yang diperbolehkan di
sini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada
dirinya.
E. Resiko Kerusakan Barang
Gadaian (Marhun)
Menurut Imam Syafi’i, bila marhun hilang di bawah
penguasa murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya
itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan. Umpamanya murtahin
bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu. Atau gudang tidak
dikunci kemudian barang-barang itu dicuri orang. Maka, wajib menggantinya,
karena itu merupakan tanggung jawab murtahin.
Sesuai dengan kaidah hukum Islam, bahwa “Seorang
penyebab tidak langsung dari suatu kerusakan, tidak dituntut ganti rugi.
Kecuali apabila ia menyengaja perbuatan tersebut”. (Ahmad, 1996:455)
Sedangkan menurut Imam Hanafi, murtahin yang memegang
marhun menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila marhun
itu rusak atau hilang. Baik karena kelalaian atau disia-siakan maupun tidak.
Demikian pula pendapat Imam Ahmad Azhar Basyir.
F. Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan,
dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat. Meskipun hal itu dilakukan,
maka syarat tersebut tidak berlaku dalam Islam. Misalnya, ketika akad gadai,
diucapkan “apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah
ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”.
Sebab, ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang, nilai harga marhun akan
lebih lebih kecil atau lebih besar dari pada utang rahin yang harus dibayar.
Sehingga mempunyai dua akibat yang salah satunya dapat merugikan pihak rahin
atau pihak murtahin. Yakni, apabila nilai harga marhun lebih besar, maka dapat
merugikan pihak rahin dan apabila nilai harga marhun lebih kecil, maka dapat
merugikan pihak murtahin.
Dalam HR. Ahmad dijelaskan, bahwa “Barang siapa yang
melakukan sesuatu untuk mempengaruhi harga-harga barang kaum Muslimin dengan
tujuan menaikkan harga tersebut, maka sudah menjadi hak Allah untuk
menempatkannya di ‘Uzm (tempat besar) dalam neraka pada hari kiamat”. (Imam
Hambal, 1993, jilid 5:28)
Apabila syarat-syarat seperti di atas diadakan dalam
akad gadai, maka akad itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu
diperhatikan.
Dalam hal ini Pemerintah RI (1999:5), dalam UUPK No. 8
tahun 1999 Bab I, pasal 1, nomer 2, menjelaskan “Setiap orang pemakai barang
atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk yang lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Menurut Hendi (2005:108), apabila pada waktu
pembayaran yang telah ditentukan, rahin belum membayar utangnya. Maka, hak
murtahin adalah menjual marhun. Sedangkan pembelinya boleh murtahin sendiri
atau orang lain. Tetapi, dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari
penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya. Akibatnya,
apabila harga penjualan marhun lebih besar dari pada jumlah hutangnya, maka
sisanya dikembalikan kepada rahin. Dan apabila harga penjualan marhun lebih
kecil, maka rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.
G. Riba dan Gadai
Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian
utang-piutang. Akan tetapi, dalam gadai terdapat jaminan. Riba akan
terjadi dalam gadai apabila dalam akad
gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan pembayaran kepada
murtahin dalam utangnya. Atau ketika gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian
syarat tersebut dilaksanakan.
Bila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada
waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak
memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin, maka di sini juga telah berlaku
riba.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pegadaian dalam kajian Islam yaitu pegadaian yang
sesuai dengan konteks kajian Al-Qur’an dan al-Hadist. Di Negara Indonesia
hanya terdiri beberapa pegadaian saja yang sesuai dengan konteks tersebut.
Contohnya: Pegadaian Syari’ah dan beberapa lembaga Perbankan Syari’ah yang
menawarkan Gadai Syari’ah, seperti: Bank Syari’ah Mandiri, Bank Muamalat Indonesia, Bank
Danamon, dan lain-lain.
Lembaga gadai pertama kali didirikan di Sukabumi, Jawa
Barat, 1 April 1901. Nama perusahaannya adalah Pegadaian, dengan Wolf von
Weterode sebagai kepala Pegadaian Negeri pertama. Pada tahun 1901, Pegadaian
diubah status menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Kemudian, pada tahun 1928
diubah menjadi Perusahaan Negara dan pada tahun 1969 diubah kembali menjadi
Perusahaan Jawatan (Perjan). Dan pada tahun 1990 statusnya menjadi Perusahaan
Umum (Perum).
Akhirnya pada tahun 2003, berdiri Pegadaian yang
berlandaskan ajaran Islam yakni Pegadaian Syari’ah sebagai akibat munculnya
fatwa MUI yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1990 yang
menerangkan bahwa misi yang diemban oleh Pegadaian adalah untuk mencegah
praktik riba, dan misi itu tidak berubah hingga diterbitkannya Peraturan
Pemerintah No. 103 tahun 2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha
Perum Pegadaian hingga sekarang.
2. Saran
Tak ada
gading yang tak retak. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif kami harapkan
dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk pembuatan makalah selanjutnya
yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kahlani. Sub
al-Salam. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut.
Al-Zarqa, Ahmad. 1996. Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah. Dar al-Qalam: Damaskus.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1984. Pengantar Fiqh Muamalah. Bulan Bintang: Jakarta.
Hambal, al-Imam. 1993. Musnad Ahmad. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut.
Kartajaya,
Hermawan. 2008. Syariah Marketing. Mizan
Pustaka: Bandung.
Nugraha, Ary Agung. Artikel “Pegadaian Syari’ah”. Manajer Pegadaian Syari’ah cabang
Batam. Padang.
Pemerintah
RI. 1999. UU. PK, Monopoli, dan UU. Hak Cipta, Paten dan Merk. Tamita Utama: Jakarta
Suhendi, Hendi.
2005. Fiqh Muamalah. Raja Grafindo
Persada: Jakarta.
www.scribd.com / doc / 25043098 / pegadaian syariah.
No comments:
Post a Comment