Wednesday, November 10, 2010

Makalah Kemiskinan Struktural dan Kultural


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sudah sepatutnya kita sebagai anak bangsa berbangga atas prestasi yang telah ditorehkan negeri tercinta ini. Dengan segala bentuk kerja keras, akhirnya Indonesia menempatkan diri sebagai salah satu negara miskin didunia.[1]
Prestasi itupun membuahkan hasil dengan adanya penghargaan berupa aliran dana segar dan semakin memantapkan posisinya dalam daftar negara penghutang. Sungguh ironis, namun itulah yang terjadi. Fenomena kemiskinan ini akan semakin tampak nyata dan bentuk pengorbanannya berupa ratapan tangisan anak bangsa dan peluh para buruh yang terkapar.
Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek di masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan. Perubahan tersebut membawa dampak tidak hanya terhadap lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. Namun sayangnya perubahan yang diciptakan oleh pembangunan membawa dampak yang menyertainya sangat mengerikan dan kompleks, karena ternyata telah melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat. Bentuk kemiskinan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah suatu bentuk yang  masih semu. Apakah karena secara struktural Indonesia ini miskin atau mungkin  secara kultural Indonesia ini miskin.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan adalah kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.

B.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana kemiskinan struktural?
2.     Bagaimana kemiskinan kultural?




















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya.[2]
Struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat dalam pelaksanaan pembangunan serta terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. 
Kemiskinan, dalam realitasnya selalu dilihat dari sudut ekonomi, dimana batasan kemiskinan adalah suatu kondisi di mana orang tidak memiliki harta benda atau mempunyai pendapatan di bawah batasan nominal tertentu.[3]
Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.

B.    Akar Permasalahan Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural
Penggalian tentang kemiskinan yang selama ini cenderung dilakukan pada batas angka-angka statistik makro yang kurang mendalam serta tidak detail dalam mengungkap latar belakang masyarakat miskin. Akibatnya tidak dapat melihat persoalan secara komperehensif mengenai dimensi-dimensi kemiskinan, karena sesungguhnya persoalan kemiskinan terkait dan saling mempengaruhi dengan persoalan yang lainnya. Pada sisi lain studi tentang kemiskinan juga cenderung over akademis yang kurang memiliki daya guna pemecahan persoalan yang sifatnya praksis penanggulangan kemiskinan, sekaligus gagal mengungkap akar penyebab kemiskinan.
Beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab kemiskinan majemuk meliputi tiga aspek yaitu :
1.     Kelembagaan: rakyat miskin tidak punya akses ke pembuat keputusan dan kebijakan, sedangkan kelembagaan yang ada tidak pernah menjaring atau menyalurkan aspirasi yang muncul dari bawah, dan setiap kebutuhan rakyat miskin sudah didefinisikan dari atas oleh kelembagaan yang ada, sehingga kemiskinan tidak dapat terselesaikan.
2.     Regulasi: kebijakan pemerintah yang mengutamakan kepentingan ekonomi. Kebijakan ekonomi dalam investasi modal pada sektor-sektor industri yang tidak berbasis pada potensi rakyat menutup kesempatan masyarakat untuk mengembangkan potensinya dan menjadi akar proses pemiskinan.
3.     Good governance: tidak adanya transparansi dan keterbukaan pada pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang mengakibatkan kebijakan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Segala bentuk regulasi diputuskan oleh lembaga-lembaga pembuat kebijakan tanpa mengikutkan para pelaku yang terlibat dan tidak memahami aspirasi rakyat miskin sehingga kebijakan yang muncul tidak mendukung rakyat miskin.
Aspek ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor-faktor yang lain, seperti politik dan sosial budaya, mempunyai peranan yang sangat kuat dalam melatarbelakangi munculnya lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan, yaitu:
a.      Aspek politik yang mengakibatkan kemiskinan yaitu:
1)     Tidak ada budaya demokrasi yang mengakar.
2)     Keputusan-keputusan politik yang sangat dipengaruhi keputusan dan kepentingan politik dari luar negeri.
3)     Tidak ada kontrol langsung dari rakyat terhadap birokrasi.
4)     Tidak berdayanya mekanisme dan sistem perwakilan politik menghadapi kepentingan modal.
b.      Aspek ekonomi yang mengakibatkan munculnya kemiskinan yaitu:
1)     Kebijakan globalisasi atau liberalisasi sistem ekonomi.
2)     Rendahnya akses terhadap faktor produksi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan.
3)     Spekulasi mata uang.
c.      Aspek sosial budaya yang mengakibatkan kemiskinan yaitu:
1.      Hancurnya identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat.
2.      Hancurnya kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan social.
3.      Marginalisasi mayoritas rakyat.
4.      Lemahnya kelembagaan yang ada.
5.      Kuatnya budaya bisu di semua lapisan masyarakat.
Paradigma ekonomi yang dipakai dalam penyusunan pembangunan, membuat pemilik modal menguasai segala-galanya. Penguasaan ekonomi dengan dalih demi ‘keuntungan bersama’, menjadi penyebab dasar kemiskinan dalam masyarakat dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang semena-mena. Aspek sosial budaya banyak sekali mempengaruhi terjadinya proses pemiskinan. Tradisi yang ada tidak sedikit yang memberikan ‘pembenaran’ dalam pemenuhan kebutuhan dasar. ‘Pembenaran tradisi’ bahwa anak harus ikut menanggung kemiskinan keluarga, di satu sisi memunculkan kasus pekerja anak; dan di sisi lain terjadi pemberontakan yang melahirkan realita anak jalanan pada banyak kota di Indonesia. Modernisasi yang dipaksakan, memunculkan kemiskinan dalam bentuk yang lain.
Kepentingan politik tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi. Struktur birokrasi yang tidak aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan banyak kebijakan yang semakin memiskinkan rakyat .
Berbicara tentang kemiskinan struktural, artinya struktur yang membuat orang menjadi miskin, dimana masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan tidak mendapatkan akses secara baik. Disebut kemiskinan kultural, adalah budaya yang membuat orang miskin, yang dalam antropologi disebut Koentjaraningrat dengan mentalitas atau kebudayan kemiskinan sebagai adanya budaya miskin. Seperti, masyarakat yang pasrah dengan keadaannya dan menganggap bahwa mereka miskin karena turunan, atau karena dulu orang tuanya atau nenek moyangnya juga miskin, sehingga usahanya untuk maju menjadi kurang. Semakin banyak program-program yang bergerak dalam penanggulangan kemiskinan, namun makin banyak pula jumlah orang miskin.[4]
Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator yang sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1 dolar AS/orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan.
Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial  mengarah  pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal, dalam hal ini bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif ilmu kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama dalam kondisi tersebut baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek domino yaitu tumbuhnya patologi atau masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contohnya adalah: munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘naik kelas’, artinya jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan pendidikan atau pelatihan.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.
Di dunia ini, sudah sunatullahnya terdapat hal-hal yang bertolak belakang. Siang dan malam, kebaikan dan keburukan, keberhasilan dan kegagalan, juga kaya dan miskin. Kemiskinan itu sendiri merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dinilai sebagai suatu hal yang harus diberantas hingga hilang dari permukaan bumi. Namun, permasalahan timbul akibat jurang yang lebar antara kaya dan miskin sehingga lahirlah permasalahan sosial lainnya yang lebih kompleks seperti kriminalitas, prostitusi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, masalah kesehatan dan pendidikan dsb. Karena itu, untuk menangani permasalahan tersebut, dibutuhkan analisis yang tajam serta penangangan secara komprehensif dan berkesinambungan oleh seluruh pihak yang terkait dengan hal ini. Berdasarkan hasil survei BPS Maret 2009, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta 14,15 persen).[5]
Di Indonesia, fenomena kemiskinan muncul tidak hanya pada dimensi ekonomi atau material saja. Ia juga menyentuh dimensi lain yaitu sosial budaya sehingga muncullah istilah cultural poverty yang dikemukakan oleh Oscar Lewis dalam teorinya. Hal ini muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin seperti malas, mudah menyerah pada nasib, dan kurang memiliki etos kerja.[6] Karena penyebab kemiskinan ini muncul dari dalam diri manusia itu sendiri, maka upaya menanggulanginya juga harus dari dalam diri manusia tersebut. Dalam aset komunitas, terdapat beberapa modal dalam suatu masyarakat. Salah satunya adalah modal spiritual.
Spiritualitas adalah jiwa dari upaya pemberian bantuan. Ia adalah sumber dari empati dan perhatian, denyut dari kasih sayang dan unsur utama dari kebijakan praktis, serta dorongan utama pada kegiatan pelayanan. Pekerja sosial mengetahui bahwa peran, teori, dan keterampilan profesional yang kita miliki menjadi tidak bermakna, kosong, melelahkan, dan tidak hidup tanpa adanya spiritualitas.[7]  
Dorongan dalam diri seseorang yang bersumber dari kekuatan transedental manusia dengan kekuatan lain yang tak kasat mata serta lebih berkuasa darinya, di luar diri manusia, yang membawa orientasi manusia tidak semata-mata mengarah ke tujuan duniawi, tetapi lebih jauh lagi ke kehidupan yang lebih hakiki. Modal spiritual tersebut memiliki peran dalam proses pembangunan sosial, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat meliputi beberapa fungsi seperti, meningkatkan etos kerja dan memberikan daya dorong atau semangat yang positif dalam melakukan pembangunan; memberikan jiwa dalam upaya pemberian bantuan; memberikan arah dalam pembangunan, dan menjadi pelndung terhadap penyimpangan.[8]
Spiritualitas erat kaitannya dengan pemahaman agama. Islam sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia dan memiliki umat terbanyak atau mayoritas di negeri kita ini dapat menjadi aset bermodal spiritual yang kuat manakala benar-benar memahami sumber ajarannya yaitu Al-Qur’an dan al-hadits serta mengimplementasikan secara komprehensif dalam kehidupan sehari-hari.
Saya mencoba mengambil intisari dari Al – Qur’an surat Ar Raa’d ayat 11,
“…Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.…”
Terdapat refleksi sosiologis dari ayat tersebut yaitu 1) Konsep perubahan masyarakat (taghyir), yang menurut M. Quraisy Syihab ditafsirkan sebagai proses perubahan yang memosisikan manusia menjadi pelaku perubahan baik secara individu maupun bagian dari komunitas atau masyarakat. Berdasarkan pembentukan katanya, subjek pada ayat tersebut adalah Qaum yakni sekelompok manusia yang berkumpul dan terdiri dari berbagai jenis golongan, suku, bahasa, yang disatukan oleh ikatan tertentu dan mempunyai tujuan yang sama. Inilah yang mendasari terbentuknya faham kebangsaan Dengan kata lain, perubahan ini mengarah pada gerakan sosial yang mampu menggerakkan masyarakat (massa) menuju sebuah tata nilai ideal. 2) Konsep potensi diri. Berdasarkan tafsir Asy-Sya’rawi, Nafs (potensi diri manusia) sebagai penggerak tingkah laku manusia. Dalam nafs terdapat dua dimensi yaitu kebaikan dan keburukan. Maka dari itu kualitasnya dapat meningkat atau menurun. Nafs dalam diri manusia menjadi wadah dari berbagai potensi, menjadi penentu posisi dan peran manusia dalam bidang sosial, ekonomi, politik, keilmuan dsb. Kualitas nafs berimplikasi pada kualitas SDM. Atas dasar itulah, salah satu aspek dalam masyarakat yang menjadi fokus utama pengembangan adalah nafs.[9]
Selain ayat tersebut, terdapat beberapa hadits yang menerangkan tentang kemiskinan dari persprektif Islam. Menurut riwayat Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
“Sekiranya salah seorang di antara kamu pergi mencari kayu bakar lalu dipikul di atas punggungnya (untuk dijual), hal ini lebih baik daripada pergi meminta-minta kepada orang lain baik ia diberi maupun ditolak” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
 “Orang yang tidak memiliki sesuatu yang dapat menutupi kebutuhannya, dan kondisinya tidak diketahui sehingga diberi shadaqah. Maka ia diberi zakat dan dia tidak meminta-minta” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallaHu ‘anHu).
Begitulah ajaran Islam menghargai usaha dan proses seorang manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Terkait erat dengan hal tersebut, modal spiritual juga mengorientasikan daya yang kita punya kita bukan hanya untuk kehidupan di dunia saja, melainkan juga untuk mencapai kebahagiaan hakiki dari kehidupan akhirat kelak sehingga dalam menjalani usaha atau prosesnya, kita senantiasa diiringi rasa syukur atas segala rezeki yang dianugerahkan kepada kita dan bersabar atas kekurangan yang ada pada kita sambil terus-menerus berusaha memperbaikinya. Dengan begitu, niscaya jiwa pun akan merasa tentram.[10]
Dari uraian di atas, jelas bahwa pemahaman yang utuh tentang ajaran Islam sebagai salah satu substansi dari modal spiritual, seharusnya dapat meningkatkan produktivitas seseorang untuk memperbaiki kondisinya sehingga idealnya, tak ada lagi orang yang secara “sukarela” menjadi miskin.

























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya
Ada tiga sisi yang menjadi akar penyebab dari terjadinya kemiskinan struktural yaitu:
1.     Pemahaman akan kemiskinan yang tidak tepat dan sepihak. Kemiskinan lebih dikaji dari aspek ekonomi saja. Aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan persoalan kemiskinan seperti aspek politik, kultural, serta sosial dikaji secara terpisah. Persoalan kemiskinan dipahami tanpa mengkaji dampak dari kebijakan publik atau pemerintah terhadap keberadaan rakyat miskin
2.     Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak melibatkan masyarakat yang terkena sasaran, baik di tingkat perencanaan maupun sampai ke tingkat pelaksanaannya.
3.     Tidak ada evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di perkotaan untuk melihat dampak yang terjadi.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan adalah kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya.
Yang menjadi penyebab terjadinya kebudayaan kemiskinan melingkupi beberapa hal, diantaranya:
1.     Hancurnya identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat.
2.     Hancurnya kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan sosial.
3.     Marginalisasi mayoritas rakyat.
4.     Lemahnya kelembagaan yang ada.
5.     Kuatnya budaya bisu di semua lapisan masyarakat.

B.    Saran
Tak ada gading yang tak retak. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif kami harapkan dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik.





















DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Todung Mulya. 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: Rajawali Grafiti.
Fakih, Mansour.2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Jogjakarta: INSIST PRESS.
Rukminto, Adi Isbandi. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagi Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers.
Ulum, Misbahul. 2007. Model-model Kesejahteraan Sosial Islam. Yogyakarta : Fakultas Dakwah Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IISEP-CIDA.
Musbikin, Imam. 2008. Mengapa Allah Membuatku Miskin? Terapi Hati Menyelamatkan Iman dan Jiwa dari Kemelut Kemiskinan. Yogyakarta : DIVA Press.
Sriharini. 2007. Model-model Kesejahteraan Sosial Islam. Yogyakarta : Fakultas Dakwah Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IISEP-CIDA.


[1] Kompas, 20 Maret 2010
[2] Todung Mulya Lubis
[3] Mansour Fakih
[4] Sarmiati, Pemerhati P2KP di Sumba Barat, KMW XII P2KP-3 NTT, Nina. (www.P2kp.org)

[6] Sriharini, 2007, Persprektif Normatif Filosofis dan Praktis, Strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin, hal. 109-127.
[7] Canda dan Furman (1999 dalam Adi 2008), hal.316.
[8] Adi, 2008, Bab 7 Aset Komunitas Dalam Pengembangan Masyarakat, hal. 317.
[9] Misbahul, 2007, Persprektif Normatif Filosofis dan Praktis, Konsep Tagyir dan Pengembangan Potensi Diri Masyarakat, hal. 1-26.
[10] Musbikin, 2008, Bab 5 Keluar Dari Kemelut Kemiskinan, hal. 203-207.

No comments:

Post a Comment