BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah sepatutnya kita sebagai anak bangsa berbangga atas prestasi yang
telah ditorehkan negeri tercinta ini. Dengan segala bentuk kerja keras,
akhirnya Indonesia
menempatkan diri sebagai salah satu negara miskin didunia.[1]
Prestasi itupun membuahkan hasil dengan adanya penghargaan berupa aliran
dana segar dan semakin memantapkan posisinya dalam daftar negara penghutang.
Sungguh ironis, namun itulah yang terjadi. Fenomena kemiskinan ini akan semakin
tampak nyata dan bentuk pengorbanannya berupa ratapan tangisan anak bangsa dan
peluh para buruh yang terkapar.
Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak
perubahan dalam berbagai aspek di masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun
perkotaan. Perubahan tersebut membawa dampak tidak hanya terhadap lingkungan
fisik, tapi juga sistem nilai dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat.
Namun sayangnya perubahan yang diciptakan oleh pembangunan membawa dampak yang
menyertainya sangat mengerikan dan kompleks, karena ternyata telah melahirkan
keterbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat. Bentuk kemiskinan yang terjadi
di Indonesia
saat ini adalah suatu bentuk yang masih semu. Apakah karena secara
struktural Indonesia ini
miskin atau mungkin secara kultural Indonesia
ini miskin.
Kemiskinan struktural adalah
kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau
kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan
budaya.
Sedangkan kebudayaan
kemiskinan adalah kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai
atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah
menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari
kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya
dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh
masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh
sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat,
cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga,
tidak berdaya dan rendah diri akut.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana kemiskinan struktural?
2.
Bagaimana kemiskinan kultural?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural
Kemiskinan struktural adalah
kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau
kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan
budaya.[2]
Struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan,
tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat dalam pelaksanaan
pembangunan serta terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan.
Kemiskinan, dalam realitasnya selalu dilihat dari
sudut ekonomi, dimana batasan kemiskinan adalah suatu kondisi di mana orang
tidak memiliki harta benda atau mempunyai pendapatan di bawah batasan
nominal tertentu.[3]
Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan
yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh
orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki
etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah
masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap
apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal
ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga,
masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu
mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa
kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural
yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis,
pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks
keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan
dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada
masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal
lainnya.
B.
Akar Permasalahan Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural
Penggalian
tentang kemiskinan yang selama ini cenderung dilakukan pada batas angka-angka
statistik makro yang kurang mendalam serta tidak detail dalam mengungkap latar
belakang masyarakat miskin. Akibatnya tidak dapat melihat persoalan secara
komperehensif mengenai dimensi-dimensi kemiskinan, karena sesungguhnya
persoalan kemiskinan terkait dan saling mempengaruhi dengan persoalan yang
lainnya. Pada sisi lain studi tentang kemiskinan juga cenderung over
akademis yang kurang memiliki daya guna pemecahan persoalan yang sifatnya
praksis penanggulangan kemiskinan, sekaligus gagal mengungkap akar penyebab
kemiskinan.
Beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab
kemiskinan majemuk meliputi tiga aspek yaitu :
1.
Kelembagaan: rakyat miskin tidak
punya akses ke pembuat keputusan dan kebijakan, sedangkan kelembagaan yang ada
tidak pernah menjaring atau menyalurkan aspirasi yang muncul dari bawah, dan
setiap kebutuhan rakyat miskin sudah didefinisikan dari atas oleh kelembagaan
yang ada, sehingga kemiskinan tidak dapat terselesaikan.
2.
Regulasi: kebijakan pemerintah
yang mengutamakan kepentingan ekonomi. Kebijakan ekonomi dalam investasi modal
pada sektor-sektor industri yang tidak berbasis pada potensi rakyat menutup
kesempatan masyarakat untuk mengembangkan potensinya dan menjadi akar proses
pemiskinan.
3.
Good governance: tidak adanya
transparansi dan keterbukaan pada pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang
mengakibatkan kebijakan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Segala
bentuk regulasi diputuskan oleh lembaga-lembaga pembuat kebijakan tanpa
mengikutkan para pelaku yang terlibat dan tidak memahami aspirasi rakyat miskin
sehingga kebijakan yang muncul tidak mendukung rakyat miskin.
Aspek ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab
kemiskinan. Faktor-faktor yang lain, seperti politik dan sosial budaya,
mempunyai peranan yang sangat kuat dalam melatarbelakangi munculnya lingkaran
kemiskinan yang tak terselesaikan, yaitu:
a.
Aspek politik yang mengakibatkan
kemiskinan yaitu:
1)
Tidak ada budaya demokrasi yang
mengakar.
2)
Keputusan-keputusan politik yang
sangat dipengaruhi keputusan dan kepentingan politik dari luar negeri.
3)
Tidak ada kontrol langsung dari
rakyat terhadap birokrasi.
4)
Tidak berdayanya mekanisme dan
sistem perwakilan politik menghadapi kepentingan modal.
b.
Aspek ekonomi yang mengakibatkan
munculnya kemiskinan yaitu:
1)
Kebijakan globalisasi atau
liberalisasi sistem ekonomi.
2)
Rendahnya akses terhadap faktor
produksi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan.
3)
Spekulasi mata uang.
c.
Aspek sosial budaya yang mengakibatkan
kemiskinan yaitu:
1.
Hancurnya identitas sosio kultural
yang hidup di masyarakat.
2.
Hancurnya kemampuan komunikasi
antar berbagai kelompok dan gerakan social.
3.
Marginalisasi mayoritas rakyat.
4.
Lemahnya kelembagaan yang ada.
5.
Kuatnya budaya bisu di semua
lapisan masyarakat.
Paradigma ekonomi yang dipakai dalam penyusunan
pembangunan, membuat pemilik modal menguasai segala-galanya. Penguasaan ekonomi
dengan dalih demi ‘keuntungan bersama’, menjadi penyebab dasar kemiskinan dalam
masyarakat dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang semena-mena. Aspek sosial
budaya banyak sekali mempengaruhi terjadinya proses pemiskinan. Tradisi yang
ada tidak sedikit yang memberikan ‘pembenaran’ dalam pemenuhan kebutuhan dasar.
‘Pembenaran tradisi’ bahwa anak harus ikut menanggung kemiskinan keluarga, di
satu sisi memunculkan kasus pekerja anak; dan di sisi lain terjadi
pemberontakan yang melahirkan realita anak jalanan pada banyak kota
di Indonesia.
Modernisasi yang dipaksakan, memunculkan kemiskinan dalam bentuk yang lain.
Kepentingan politik tidak bisa dilepaskan dari
kemiskinan yang terjadi. Struktur birokrasi yang tidak aspiratif terhadap
rakyat miskin menimbulkan banyak kebijakan yang semakin memiskinkan rakyat .
Berbicara tentang kemiskinan struktural, artinya
struktur yang membuat orang menjadi miskin, dimana masyarakat tidak dilibatkan
dalam pengambilan keputusan dan tidak mendapatkan akses secara baik. Disebut
kemiskinan kultural, adalah budaya yang membuat orang miskin, yang dalam
antropologi disebut Koentjaraningrat dengan mentalitas atau kebudayan
kemiskinan sebagai adanya budaya miskin. Seperti, masyarakat yang pasrah dengan
keadaannya dan menganggap bahwa mereka miskin karena turunan, atau karena dulu
orang tuanya atau nenek moyangnya juga miskin, sehingga usahanya untuk maju
menjadi kurang. Semakin banyak program-program yang bergerak dalam
penanggulangan kemiskinan, namun makin banyak pula jumlah orang miskin.[4]
Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefiniskan
sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya
aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator yang
sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun
konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi
sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan
tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1 dolar AS/orang
setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan
maupun pendidikan.
Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial
mengarah pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses
jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan
kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Faktor penghambat tersebut
secara umum meliputi faktor internal, dalam hal ini bersumber dari si miskin
itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan
faktor eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti
birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan
sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif ilmu kesejahteraan
sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya disebabkan oleh kemiskinan
ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama dalam kondisi tersebut baik karena
faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek
domino yaitu tumbuhnya patologi atau masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko
ketika kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus
menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang
timbul. Contohnya adalah: munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi,
disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul
bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena
ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan
kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur
sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang
tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada
disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani,
pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih.
Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah
pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung
membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang
pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada
pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘naik
kelas’, artinya jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya
menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan
derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan pendidikan atau
pelatihan.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan
yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh
orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki
etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah
masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap
apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal
ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga,
masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu
mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa
kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural
yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis,
pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks
keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan
dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada
masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal
lainnya.
Di dunia ini, sudah sunatullahnya terdapat hal-hal
yang bertolak belakang. Siang dan malam, kebaikan dan keburukan, keberhasilan
dan kegagalan, juga kaya dan miskin. Kemiskinan itu sendiri merupakan fenomena
sosial yang tidak bisa dinilai sebagai suatu hal yang harus diberantas hingga
hilang dari permukaan bumi. Namun, permasalahan timbul akibat jurang yang lebar
antara kaya dan miskin sehingga lahirlah permasalahan sosial lainnya yang lebih
kompleks seperti kriminalitas, prostitusi, kekerasan terhadap perempuan dan
anak, masalah kesehatan dan pendidikan dsb. Karena itu, untuk menangani
permasalahan tersebut, dibutuhkan analisis yang tajam serta penangangan secara
komprehensif dan berkesinambungan oleh seluruh pihak yang terkait dengan hal
ini. Berdasarkan hasil survei BPS Maret 2009, jumlah penduduk miskin (penduduk
yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia pada Bulan Maret 2009
sebesar 32,53 juta 14,15 persen).[5]
Di Indonesia, fenomena kemiskinan muncul tidak hanya pada
dimensi ekonomi atau material saja. Ia juga menyentuh dimensi lain yaitu sosial
budaya sehingga muncullah istilah cultural poverty yang dikemukakan
oleh Oscar Lewis dalam teorinya. Hal ini muncul sebagai akibat adanya
nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin seperti malas,
mudah menyerah pada nasib, dan kurang memiliki etos kerja.[6]
Karena penyebab kemiskinan ini muncul dari dalam diri manusia itu sendiri, maka
upaya menanggulanginya juga harus dari dalam diri manusia tersebut. Dalam aset
komunitas, terdapat beberapa modal dalam suatu masyarakat. Salah satunya adalah
modal spiritual.
Spiritualitas adalah jiwa dari upaya pemberian bantuan. Ia
adalah sumber dari empati dan perhatian, denyut dari kasih sayang dan unsur
utama dari kebijakan praktis, serta dorongan utama pada kegiatan pelayanan.
Pekerja sosial mengetahui bahwa peran, teori, dan keterampilan profesional yang
kita miliki menjadi tidak bermakna, kosong, melelahkan, dan tidak hidup tanpa
adanya spiritualitas.[7]
Dorongan dalam diri seseorang yang bersumber dari kekuatan
transedental manusia dengan kekuatan lain yang tak kasat mata serta lebih
berkuasa darinya, di luar diri manusia, yang membawa orientasi manusia tidak
semata-mata mengarah ke tujuan duniawi, tetapi lebih jauh lagi ke kehidupan
yang lebih hakiki. Modal spiritual tersebut memiliki peran dalam proses
pembangunan sosial, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat meliputi beberapa
fungsi seperti, meningkatkan etos kerja dan memberikan daya dorong atau
semangat yang positif dalam melakukan pembangunan; memberikan jiwa dalam upaya
pemberian bantuan; memberikan arah dalam pembangunan, dan menjadi pelndung
terhadap penyimpangan.[8]
Spiritualitas erat kaitannya dengan pemahaman agama. Islam
sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia dan memiliki umat
terbanyak atau mayoritas di negeri kita ini dapat menjadi aset bermodal
spiritual yang kuat manakala benar-benar memahami sumber ajarannya yaitu
Al-Qur’an dan al-hadits serta mengimplementasikan secara komprehensif dalam
kehidupan sehari-hari.
Saya mencoba mengambil intisari dari Al – Qur’an surat Ar Raa’d ayat 11,
“…Sesungguhnya
Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri.…”
Terdapat refleksi sosiologis dari ayat tersebut yaitu 1)
Konsep perubahan masyarakat (taghyir), yang menurut M.
Quraisy Syihab ditafsirkan sebagai proses perubahan yang memosisikan manusia
menjadi pelaku perubahan baik secara individu maupun bagian dari komunitas atau
masyarakat. Berdasarkan pembentukan katanya, subjek pada ayat tersebut adalah Qaum
yakni sekelompok manusia yang berkumpul dan terdiri dari berbagai jenis
golongan, suku, bahasa, yang disatukan oleh ikatan tertentu dan mempunyai
tujuan yang sama. Inilah yang mendasari terbentuknya faham kebangsaan Dengan
kata lain, perubahan ini mengarah pada gerakan sosial yang mampu menggerakkan
masyarakat (massa)
menuju sebuah tata nilai ideal. 2) Konsep potensi diri.
Berdasarkan tafsir Asy-Sya’rawi, Nafs (potensi diri manusia) sebagai
penggerak tingkah laku manusia. Dalam nafs terdapat dua dimensi yaitu
kebaikan dan keburukan. Maka dari itu kualitasnya dapat meningkat atau menurun.
Nafs dalam diri manusia menjadi wadah dari berbagai potensi, menjadi
penentu posisi dan peran manusia dalam bidang sosial, ekonomi, politik,
keilmuan dsb. Kualitas nafs berimplikasi pada kualitas SDM. Atas dasar
itulah, salah satu aspek dalam masyarakat yang menjadi fokus utama pengembangan
adalah nafs.[9]
Selain ayat tersebut, terdapat beberapa hadits yang
menerangkan tentang kemiskinan dari persprektif Islam. Menurut riwayat Abu
Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
“Sekiranya salah seorang di antara kamu pergi mencari kayu
bakar lalu dipikul di atas punggungnya (untuk dijual), hal ini lebih baik
daripada pergi meminta-minta kepada orang lain baik ia diberi maupun ditolak” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
“Orang yang tidak memiliki sesuatu yang dapat
menutupi kebutuhannya, dan kondisinya tidak diketahui sehingga diberi shadaqah.
Maka ia diberi zakat dan dia tidak meminta-minta” (HR. al-Bukhari
dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallaHu ‘anHu).
Begitulah ajaran Islam menghargai usaha dan proses seorang
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Terkait erat dengan hal
tersebut, modal spiritual juga mengorientasikan daya yang kita punya kita bukan
hanya untuk kehidupan di dunia saja, melainkan juga untuk mencapai kebahagiaan
hakiki dari kehidupan akhirat kelak sehingga dalam menjalani usaha atau
prosesnya, kita senantiasa diiringi rasa syukur atas segala rezeki yang
dianugerahkan kepada kita dan bersabar atas kekurangan yang ada pada kita
sambil terus-menerus berusaha memperbaikinya. Dengan begitu, niscaya jiwa pun
akan merasa tentram.[10]
Dari uraian di atas, jelas bahwa pemahaman yang utuh
tentang ajaran Islam sebagai salah satu substansi dari modal spiritual,
seharusnya dapat meningkatkan produktivitas seseorang untuk memperbaiki
kondisinya sehingga idealnya, tak ada lagi orang yang secara “sukarela” menjadi
miskin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kemiskinan struktural
adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat
sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana
ekonomi, sosial, politik dan budaya
Ada tiga sisi yang
menjadi akar penyebab
dari terjadinya kemiskinan struktural yaitu:
1.
Pemahaman akan kemiskinan yang
tidak tepat dan sepihak. Kemiskinan lebih dikaji dari aspek ekonomi saja.
Aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan persoalan kemiskinan seperti aspek
politik, kultural, serta sosial dikaji secara terpisah. Persoalan kemiskinan
dipahami tanpa mengkaji dampak dari kebijakan publik atau pemerintah terhadap
keberadaan rakyat miskin
2.
Kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah tidak melibatkan masyarakat yang terkena sasaran, baik di tingkat
perencanaan maupun sampai ke tingkat pelaksanaannya.
3.
Tidak ada evaluasi atas kebijakan
dan program pembangunan di perkotaan untuk melihat dampak yang terjadi.
Sedangkan kebudayaan
kemiskinan adalah kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai
atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah
menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya.
Yang menjadi penyebab terjadinya kebudayaan kemiskinan
melingkupi beberapa hal, diantaranya:
1.
Hancurnya identitas sosio kultural
yang hidup di masyarakat.
2.
Hancurnya kemampuan komunikasi
antar berbagai kelompok dan gerakan sosial.
3.
Marginalisasi mayoritas rakyat.
4.
Lemahnya kelembagaan yang ada.
5.
Kuatnya budaya bisu di semua
lapisan masyarakat.
B.
Saran
Tak ada
gading yang tak retak. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif kami harapkan
dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk pembuatan makalah selanjutnya
yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Todung Mulya. 1986. Bantuan Hukum dan
Kemiskinan Struktural. Jakarta:
Rajawali Grafiti.
Fakih, Mansour.2001. Runtuhnya Teori Pembangunan
dan Globalisasi. Jogjakarta:
INSIST PRESS.
Rukminto, Adi Isbandi. 2008. Intervensi Komunitas
Pengembangan Masyarakat Sebagi Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers.
Ulum, Misbahul. 2007. Model-model Kesejahteraan Sosial
Islam. Yogyakarta : Fakultas Dakwah
Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan
IISEP-CIDA.
Musbikin, Imam. 2008. Mengapa Allah Membuatku Miskin?
Terapi Hati Menyelamatkan Iman dan Jiwa dari Kemelut Kemiskinan. Yogyakarta : DIVA Press.
Sriharini.
2007. Model-model Kesejahteraan Sosial Islam.
Yogyakarta : Fakultas Dakwah Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dan IISEP-CIDA.
[1] Kompas,
20 Maret 2010
[2] Todung
Mulya Lubis
[3] Mansour
Fakih
[4] Sarmiati, Pemerhati P2KP di Sumba Barat, KMW XII
P2KP-3 NTT, Nina. (www.P2kp.org)
[6] Sriharini, 2007, Persprektif Normatif Filosofis dan
Praktis, Strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin, hal. 109-127.
[7] Canda dan Furman (1999 dalam Adi 2008), hal.316.
[8] Adi, 2008, Bab 7 Aset Komunitas Dalam Pengembangan
Masyarakat, hal. 317.
[9] Misbahul, 2007, Persprektif Normatif Filosofis dan
Praktis, Konsep Tagyir dan Pengembangan Potensi Diri Masyarakat, hal. 1-26.
[10] Musbikin, 2008, Bab 5 Keluar Dari Kemelut Kemiskinan,
hal. 203-207.
No comments:
Post a Comment